Kau serta Aksara, Narasi dan Percakapan Kita

…………………………………,

Mengakhiri setiap aksara yang kau lemparkan, kini sepi meradang. Tak sesepi pertama kali, menuntaskan segala aksara darimu yang tersisa, kala itu. Aksara-aksara bermakna sakit yang dahulu kita pelihara dan sembuhkan bersama. Kita adalah dua orang yang akan berusaha sekuat raga, melahirkan aksara-aksara baru untuk menemukan makna-makna paling baru bersama. Kita adalah aksara yang kita lemparkan sendiri, kitalah aksara yang demikian. Entahkah soal aksara terbaik hingga terburuk antara kita, kita sama-sama merasa terisi dengan aksara yang demikian, aksara yang kita lahirkan.

Narasi-narasi yang lahit dari setiap aksara yang lahir dari bibir kita, menjadikannya sebuah percakapan panjang yang memotong habis waktu hingga tak tersisa. Narasi yang melebur hingga melebarkan percakapan-percakapan kita, waktu itu. Narasi-narasi yang punya kekuatan magis menghilangkan, membangkitkan, maupun memperkuat nyata dalam kisah kita. Sayangnya; yang aku katakan ini, adalah nostalgiaku tentang kita yang lalu. Nostalgiaku tentang aksara yang melahirkan narasi, narasi yang melebur di dalam kita, narasi yang melebarkan kisah kita hingga narasi penutup kisah kita.

Kau adalah sepersekian objek yang membuatku mampu bercerita berlembar-lembar. Tak putus-putusnya aku bercerita soal dikau, yang membuatku betah melahirkan narasi-narasi ini. Tentangmu bahkan masih termuat dalam setiap lembar dalam narasiku. Kau pun demikian, dengan tata penulisan ter-serius tanpa konten ringan yang menyegarkan rasa ketika membaca maupun tanpa ada rasa ketika menulis (haha). Aksara kita berbeda, namun memperkaya narasi yang menjadi percakapan kita. Mengingat tak banyak kau berkata, namun percakapan kita tak pernah putus. Jutaan topik termuat dalam narasi kita, hingga menjadi menyenangkan berdiskusi denganmu, sebagai kawan berdiskusi ternyaman. Ah, rupanya kau masih membekas hingga sekarang (haha).

Aksaramu berupa potongan-potongan sejarah, hingga rasanya ketika berdiskusi denganmu mengingatku tentang pelajaran Sejarah, ketika bersekolah di SMP maupun SMA dahulu. Potongan-potongan sejarah luar negeri sampai potongan sejarah agama manapun senantiasa melintasi percakapan kita. itulah yang membuatku menyebutmu, memperkaya percakapan kita. Aksaramu pun tak memuat hal terkait masa kini, kau bilang kita harus banyak membaca soal sejarah, walau sesungguhnya jika kau bercerita soal ini aku akan sangat mengantuk mendengarnya. Tak tahu mengapa, mengingat aku tak pernah membalas dengan pernyataan, melainkan sesering mungkin bertanya padamu. Ternyata, berdiskusi soal sejarah juga punya massanya. Nyatanya berdiskusi tentang kita juga pun sudah tak bisa berlanjut, hingga harus berhenti. apa artinya berhenti? sudah jelas, tak bisa berlanjut lagi.

Aksara kita perlahan semakin jarang, kandas hingga akhirnya karam. Semua aksara kita terkubur. Tiba-tiba yang banyak itu hilang, tak tahu kemana. Entah dilarikan angin ataukah terkubur. Keduanya sama saja, sama-sama menghilang. Sama-sama tak tersisa. Sudah tak ada lagi narasi panjang dalam percakapan kita, maupun cerita sejarah yang sejak itu telah aku rindukan. Aku pun membaca sejarah-sejarah yang kau ceritaka, selain memperoleh ilmu juga membuktikan apa yang kau katakan benar ataukah salah. Nyatanya, semua yang kau katakan nyaris tak pernah salah.

Aksara kita yang karam itu, ternyata telah meninggalkan sejumlah keterangan. Keterangan yang kita peroleh, ketika membelakangi karamnya aksara kita bersama. Kita saling menyapa, tanpa bertanya mengapa aksara kita masing-masing telah karam. Walaupun sebenarnya, ingin sekali aku bertanya namun tertahan, tak tahu mengapa. Keterangan yang sama-sama kita peroleh, adalah yang aku katakan sebelumnya; semuanya ada masanya. Sama-sama tak kita temukan aksara baru yang memperkaya percakapan kita, walau aku sering bertanya pada diri sendiri; bukankah yang sudah-sudah itu dengan mudah melahirkan aksara baru? sekali lagi, tertahan semua pertanyaan itu. Sama-sama tak saling menahan, kita karamkan saja aksara, narasi hingga percakapan kita. Sepi meradang masing-masing, masih terus saling melihat snap di WA maupun IG, namun tak lantas juga menyematkan aksara percakapan. Yang jelas karamnya aksara, narasi hingga percakapan kita sudah cukup lama.

Kini, nyatanya sudah semakin membaik. Kita telah sama-sama semakin terbiasa untuk tak saling menyapa bahkan tak ada lagi yang perlu didiskusikan. Sudah terkendali semua rasa yang ingin didiskusikan denganmu. Sudah banyak nyata-nyata baik yang menghampiri kita, tanpa perlu kita bagikan bersama seperti dulu. Nyatanya, nyata-nyata itu mengajarkan kita untuk perlu merasa bahagia sendiri lebih dulu, sebelum bahagia atas kebahagiaan orang lain.

Aku mengisahkan ini, karna kemarin pun kau telah memulai aksaramu yang masih begitu lekat dalam ingatanku. Narasi sejarah lagi dan lagi darimu. Ketika percakapan kita dipenuhi dengan bangunan tua di suatu tempat yang kau kunjungi. Ketika kita telah tenggelam dalam percakapan kita, tak ada yang berubah dari kita dan tak ada lagi yang bisa kita cakapkan di banyak waktu.

Terakhir, terima kasih telah menyapa!

Tinggalkan komentar