Terima kasih manisku

don’t like me anymore? Telah membuka subuhku yang hampir tertelan dalam kantuk. Tak tahu mengapa akhir-akhir ini, kantukku enggan hinggap di kedua mataku. Tak ada apapun yang aku pikirkan, namun rasanya ada yang membebani pikiranku soal perdebatan kita di beberapa minggu yang lalu. Aku mangkir dari percakapan kita hampir seminggu, menolak menjenguk segala cara agar terhubung denganmu. Mendengarmu sekedar menjumpaiku dari seberang pun, mampu aku tepis. Kau tahu, aku tipe orang yang tak mendendam, dan aku lebih suka melabrakmu dengan cacian daripada mendiamimu sebanyak waktu kita ingin berjumpa.

Aku sulit mengontrol mood, kadang aku ingin sekali mencacimu, namun kadang aku tak punya daya untuk mencaci dan memilih pergi sementara. Kau pun tahu hal itu, makanya kau pandai meminta maaf. Kau pandai menciptakan tawa dibalik amarahku, hingga kadanh aku dibuat cekikikan karna melucu bersama humormu.

Setelah mendiamimu beberapa waktu, aku masih saja tak kembali. Menolak menghubungimu lebih dulu, ‘tidak, sama sekali tidak’. Ketika mataku hendak terpejam, ponselku bergetar. Aku tatap notif, ternyata pesan darimu. Jemariku membatu dan membeku, tak ada selera untuk mengakrabi pesanmu yang akan berubah jadi percakapan. Kau masih sama, menciptakan canda dan mengusung tawa mewarnai percakapan di tengah malamku, sedang di waktu senggang milikmu. sayang, ayo saling berubah! Sudah terlalu lama kita terpenjara oleh keegoisan kita. Kita saling meminta banyak hal, kita saling menghindar banyak hal, kita saling patah dan terluka karna saling tak terima perbedaan. Lalu bagaimana bisa kita bertahan dengan segala ‘keanehan’ yang tak bisa kita jadikan candu agar berdampak pada hubungan yang kian tak sehat ini?

Kita saling sepakat berpisah beberapa waktu, namun lucunya kita saling merindu. Saling berusaha mengabari, namun tertemboki ‘keangkuhan’. Dalam banyak kesempatan kita saling melihat pergerakan, namun gagal menciptakan pergerakan dalam kisah kita. Hubungan yang digadang-gadang membahagiakan, seketika berubah menjadi apapun yang kita jauhi. Ahhh, kita gagal menciptakan kenyamanan pada masing-masing.

Kita menanggalkan separuh kenyataan agar saling menggapai untuk menciptakan the healthy atmosphere untuk memperbaiki ‘kesakitan’ dalam hubungan kita. Berusaha memerangi kemustahilan yang sama-sama kita sadari dan akui. Beberapa waktu kemudian, ada yang melegakkan. Kita pandai menanggalkan kemustahilan lalu mengubahnya menjadi kesempatan saling mencumbu harapan dan menciptakan hubungan yang kian sehat. Sayangnya hal meneyenangkan ini hanya bertahan bebetapa waktu, sebab sudah gagal lagi ketika dinodai kenyataan. Ahhh, kita terlalu terpaku menikmati usaha yang kita ciptakan dan lupa menyertakan Tuhan untuk merestui seluruh usaha kita.

Kemustahilan kembali. Kemustahilan berjaya. Kemustahilan sudah menentukan perannya sesuai artinya. Tahu kan letak kelemahan kita dimana? Lantaran gemar untuk mencumbu harapan tanpa menengok kenyataan, membuat kita terbang tanpa arah. Menghilang tertelan kenyataan, menangisi perpisahan dan merayakan perbedaan. Kerapkali menuai cinta berharap ada yang lebih baik, ya sederhana: ada cinta yang dimenangi dan dikalahkan. Pada kisah kita, kita terkalahkan.

Kita memang sadar pada awalnya, namun membentengi diri bermodalkan perasaan yang sudah tak bisa dituntun. Perasaan yang saling terakui meminta bersama dan bersua. Kebersamaan terenggut manakala perpisahan menyapa. Berusaha saling mempelajari karakter, telah berhasil membuat kita saling mengenal. Ada rasa saling menghormati yang tercipta, sekedar saling percaya bilamana tak sempat berkabar. Ada keraguan, kepercayaan, hingga pudarnya rasa kasih selalu bisa menuntun kita kembali pulang. Kita terus kembali bersama, namun kali ini berbeda. Harusnya kita berpisah, ketika berhasil saling mempertahankan. Setidaknya kita sudah berupaya melakukan yang terbaik, berupaya mengupayakan kisah dan kasih kita dan berupaya sekeras hati untuk terus bersama apapun kepahitannya. Setidaknya kita ini tak berakhir karna perdebatan, namun perbedaan yang tak menciptakan perdebatan dan pertengkaran. Aku merasa bahwa perbedaan ini sudah menyatukan kita sekian lama, hingga tiba di masa tak kuat berjuang lagi, lalu memilih menyerah.

Terima kasih, untuk seorang yang manis menyapa. Manis di percakapan dan manis terkenang. Terima kasih karna selalu sama ketika pertama kali memutuskan bersama, hingga memutuskan berpisah. Terima kasih karna pandai menuturkan perbedaan tanpa harus menjauhinya. Ahh, aku senang menemukanmu❤.

Tinggalkan komentar